Mekar, seekor harimau sumatra yang dilepasliarkan di Pusat Rehabilitasi Harimau Tambling Wildlife Nature Conservation
Siang itu, usai Panti melesat liar ke hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Tomy Winata turun menghampiri kandang pelepasan Petir. Dia membuka tutup pintu kandang harimau sumatra berusia tiga tahun itu.
Kandang Petir dan Panti berjajar di tengah tanah lapang berumput rata. Ini sebenarnya momen yang cukup menegangkan: sementara itu, Tomy membuka pintu, tak ada yang tahu, apakah Panti, induk Petir, telah benar-benar menjauh dari lokasi itu. Bisa saja Panti masih mengintai dari balik keremangan hutan.
Namun penggagas Tambling Wildlife Nature Conservation itu dengan langkah gontai berjalan ke tengah lapangan. Dia membuka satu-satu pintu sangkar, diiringi Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Timbul Batubara.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengamati momen itu dari atas jip. Di sisi kiri jauh, di atas jip pula, petugas bersenapan dengan obat bius telah siaga sejak tadi. Tetap waspada.
Pintu kandang terbuka: nampaklah seringai Petir dengan tatapan mata tajam dari balik pintu jeruji. Petir adalah harimau muda yang lahir di Pusat Rehabilitasi Satwa TWNC. Ia lahir bersama dua saudaranya: Topan dan Bintang.
Pelepasliaran dua harimau sumatra itu bagi Tomy adalah bentuk konsistensi TWNC terhadap konservasi alam. “Kami konsisten,” tuturnya, “dan, ternyata apa yang kami kerjakan di bawah bimbingan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berjalan terus-menerus.”
Tambling Wildlife Nature Conservation telah menghelat pelepasliaran harimau sejak 27 Juni 2008. Saat itu dua harimau: Agam dan Pangeran kembali ke alam bebas. Kemudian pada 22 Januari 2010, Tambling Wildlife kembali melepas dua harimau, Panti dan Buyung. Terakhir, pada 3 Maret 2015 lalu, Panti dan Petir menyusul kerabatnya yang hidup liar di alam bebas.
Kini, di Pusat Rehabilitasi Satwa TWNC hidup tujuh harimau sumatera yang sedang menjalani pemulihan untuk kembali ke alam. Tomy berharap semakin banyak masyarakat dan pengusaha bekerja sama dengan TWNC untuk mendukung program pelepasliaran harimau.
“Atau melakukan sendiri, karena tugas konservasi bumi dan lingkungan menjadi tanggung jawab bersama. Tidak hanya menyelamatkan harimau, namun juga semua jenis satwa liar,” ujar dia.
Bagi lelaki bersuara serak nan berat ini, harimau merupakan salah satu mata rantai penting dalam ekosistem, yang menjaga keseimbangan di bumi Sumatra. “Kalau harimau punah, babi merajalela dan menjadi hama. Kebun hancur,” kata Tomy.
Jadi, lanjut Tomy, tidak ada makna personal ihwal pelepasliaran harimau. “Saya merasa ini amanah dari negara. Saya tidak pernah memilih harimau. Pada dasarnya, seluruh jenis binatang di TWNC akan kami lindungi,” ujarnya.
Tambling Wildlife Nature Conservation mengampu kawasan seluas 50.000 hektare dalam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, serta cagar alam laut seluas 15.000 hektare bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung.
Tambling adalah akronim Tampang dan Belimbing, dua wilayah geografis yang dikelola TWNC. Sejak seputar 2007, TWNC telah menggelar konservasi flora dan fauna. Sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam mengelola kawasan konservasi, Tambling Wildlife Nature Conservation memegang tiga izin: pengelolaan pariwisata alam, pusat rehabilitasi satwa dan kolaborasi bersama taman nasional.
Kendati begitu, hingga kini Tambling Wildlife Nature Conservation belum menerima pengunjung untuk wisata alam.
“Karena keseimbangan ekosistem yang belum sempurna, saya takut menjalankan pemanfaatan pariwisata alam karena konservasi berarti membatasi sekecil mungkin sentuhan manusia. Ekowisata itu bagus, benar. Sayangnya itu mendatangkan manusia baru yang susah diatur. Sampai hari ini, saya belum terima uang dari seorang pun dari pariwisata alam,” ujar Tomy.
Dalam itungan Tambling Wildlife Nature Conservation, seorang pengunjung sedikitnya bakal meninggalkan limbah seberat 5 kilogram selama tiga hari kunjungan. Tomy mengisahkan seluruh limbah mesti didaur ulang, yang memerlukan waktu 8 bulan.
“Termasuk mendaur ulang air seni, memulihkan jalan, membersihkan sampah: plastik, rokok dan sebagainya,” katanya.
Kawasan dengan vegetasi dari pantai, mangrove, padang rumput dan hutan dataran rendah tropika ini memang dikelola untuk turut memberi sumbangan global. “Pelestarian alam di sini ujung-ujungnya agar kawasan ini tidak berkontribusi terhadap pemanasan global,” ucap Tomy.
Lantaran itulah, TWNC berkolabarasi dengan taman nasional mengelola kawasannya dengan serius. Hamparan padang rumput sengaja dicukur rutin dengan kendaraan pemotong rumput. Kerbau liar dan rusa sambar memamah rumput dengan bebas.
Tomy menyatakan rumput dicukur untuk produktivitas padang. “Biaya yang murah bisa dengan dibakar, tapi risikonya sangat besar; bisa-bisa biayanya menjadi sepuluh kali lipat.”
Pantai di sepanjang kawasan Tampang dan Belimbing bersih tanpa sampah. Norma dan nilai konservasi alam dijunjung tinggi.
“Kalau ada pegawai di TWNC yang melanggar norma dan nilai konservasi alam, kami memberikan sanksi yang sangat sangat berat. Saya mencintai konservasi, mencintai alam, dan mencintai binatang. Itu paling utama. Napas saya adalah konservasi,” kata Tomy.(Agus Prijono)
Editor : Tri Wahono
Sumber : National Geographic Indonesia
Source: http://sains.kompas.com/read/2015/03/24/13044291/Tomy.Winata.Napas.Saya.adalah.Konservasi